Sejarah pergerakan wanita NU memiliki akar kesejarahan panjang dengan
pergunulan yang amat sengit yang akhirnya memunculkan berbagai gerakan
wanita baik Muslimat, fatayat hingga Ikatan pelajar putri NU.
Sejarah
mencatat bahwa kongres NU di Menes tahun 1938 itu merupakan forum yang
memiliki arti tersendiri bagi proses katalisis terbentuknya organisasi
Muslimat NU. Sejak kelahirannya di tahun 1926, NU adalah organisasi yang
anggotanya hanyalah kaum laki-laki belaka.
Para ulama NU saat
itu masih berpendapat bahwa wanita belum masanya aktif di organisasi.
Anggapan bahwa ruang gerak wanita cukuplah di rumah saja masih kuat
melekat pada umumnya warga NU saat itu. Hal itu terus berlangsung hingga
terjadi polarisasi pendapat yang cukup hangat tentang perlu tidaknya
wanita berkecimpung dalam organisasi.
Dalam kongres itu, untuk
pertama kalinya tampil seorang muslimat NU di atas podium, berbicara
tentang perlunya wanita NU mendapatkan hak yang sama dengan kaum lelaki
dalam menerima didikan agama melalui organisasi NU. Verslag kongres NU
XIII mencatat : “Pada hari Rebo ddo : 15 Juni ’38 sekira poekoel 3 habis
dhohor telah dilangsoengkan openbare vergadering (dari kongres) bagi
kaoem iboe, …
Tentang tempat kaoem iboe dan kaoem bapak jang
memegang pimpinan dan wakil-wakil pemerintah adalah terpisah satoe
dengan lainnja dengan batas kain poetih.” Sejak kongres NU di Menes,
wanita telah secara resmi diterima menjadi anggota NU meskipun sifat
keanggotannya hanya sebagai pendengar dan pengikut saja, tanpa
diperbolehkan menduduki kursi kepengurusan. Hal seperti itu terus
berlangsung hingga Kongres NU XV di Surabaya tahun 1940.
Dalam
kongres tersebut terjadi pembahasan yang cukup sengit tentang usulan
Muslimat yang hendak menjadi bagian tersendiri, mempunyai kepengurusan
tersendiri dalam tubuh NU. Dahlan termasuk pihak-pihak yang secara gigih
memperjuangkan agar usulan tersebut bisa diterima peserta kongres.
Begitu tajamnya pro-kontra menyangkut penerimaan usulan tersebut,
sehingga kongres sepakat menyerahkan perkara itu kepada PB Syuriah untuk
diputuskan.
Sehari sebelum kongres ditutup, kata sepakat
menyangkut penerimaan Muslimat belum lagi didapat. Dahlanlah yang
berupaya keras membuat semacam pernyataan penerimaan Muslimat untuk
ditandatangani Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. A. Wahab
Hasbullah. Dengan adanya secarik kertas sebagai tanda persetujuan kedua
tokoh besar NU itu, proses penerimaan dapat berjalan dengan lancar.
Bersama
A. Aziz Dijar, Dahlan pulalah yang terlibat secara penuh dalam
penyusunan peraturan khusus yang menjadi cikal bakal Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU di kemudian hari. Bersamaan dengan
hari penutupan kongres NU XVI, organisasi Muslimat NU secara resmi
dibentuk, tepatnya tanggla 29 Maret 1946 / 26 Rabiul Akhir 1365. Tanggal
tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari lahir Muslimat NU sebagai
wadah perjuangan wanita Islam Ahlus Sunnah Wal Jama`ah dalam mengabdi
kepada agama, bangsa dan negara.
Sebagai ketuanya dipilih
Chadidjah Dahlan asal Pasuruan, isteri Dahlan. Ia merupakan salah
seorang wanita di lingkungan NU itu selama dua tahun yakni sampai
Oktober 1948. Sebuah rintisan yang sangat berharga dalam memperjuangkan
harkat dan martabat kaumnya di lingkungan NU, sehingga keberadaannya
diakui dunia internasional, terutama dalam kepeloporannya di bidang
gerakan wanita.
Pada Muktamar NU XIX, 28 Mei 1952 di Palembang, NOM menjadi badan otonom dari NU dengan nama baru Muslimat NU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar